PROGRAM KAMI
Ekosistem mangrove di Indonesia
Berdasar data tahun 1984, Indonesia diyakini masih memiliki kawasan hutan mangrove seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar hasil interpetasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo, 1994). Bahkan berdasar data Ditjen RRL (1999), luas mangrove Indonesia dalam kawasan hutan hanya seluas 3,7 juta ha, itupun sekitar seluas 1,6 juta ha (43,2%) dalam kondisi rusak parah. Di luar kawasan, Indonesia diperkirakan memiliki mangrove seluas 5,5 juta ha, yang sebanyak 4,8 juta ha (87,3%) dalam kedaan rusak parah. Kecepatan kerusakan kawasan mangrove selama 16 tahun telah mencapai lebih dari 134.000 ha/th.
Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan-ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kadungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai. Dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan diameter 15 cm dapat meredam sekitar 50% enersi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002). Hasil penelitian Istiyanto et al., 2003 yang merupakan pengujian model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora sp.) memantulkan, meneruskan dan menyerap enersi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di sepanjang pantai dapat memperkecil efek dan gelombang tsunami yang menerjang pantai. Banyak tempat di Indonesia ini telah mengalami bencana sebagai akibat dari dampak ketidak-pedulian masyarakat terhadap ekosisitem mangrove.
Untuk pengamanan potensi dan fungsi pesisir, sebenarnya di beberapa daerah telah menetapkan kawasan laut, hutan mangrove atau hutan pantai sebagai zona penyangga, yang dikelola secara terpadu untuk peningkatan ekonomi masyarakat pantai. Namun di pihak lain, masih banyak dijumpai sempadan pantai yang tidak memiliki jalur hijau (green belt) mangrove sebagaimana yang telah ditetapkan pada Kepres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yaitu 130 x rata-rata tunggang air pasang purnama (tidal range). Namun, pada kenyataannya, ketentuan ini sangat terabaikan pada hampir di seluruh hutan mangrove yang ada. Padahal, untuk lebih dapat ditegakkannya supermasi hukum tersebut, dapat dikemukakan beberapa hasil pengamatan informasi ekosistem mangrove yang antara lain adalah bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Bahkan Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Direktorat Bina Pesisir DKP (2004) menggambarkan hubungan hasil ikan tangkapan (Y) dan luas hutan mangrove (X) sebagai Y = 0,06 + 0,15 X. Sukresno dan Anwar (1999) menunjukkan adanya kecenderungan menurunnya salinitas tanah dengan jarak dari garis pantai, dari 50 mhs di garis pantai, 2 – 10 mhs pada jarak 0,1 km hingga < 0,2 mhs pada jarak > 1 km, kecuali pada wilayah yang mangrovenya rusak dapat mencapai >2 mhs pada jarak > 1 km. Kondisi air sumur pada jarak 1 km masih tergolong baik untuk wilayah dengan kondisi mangrovenya yang relatif baik, sementara pada wilayah dengan mangrove yang tipis sudah terintrusi pada jarak 1 km. Jumlah/liter phytoplankton dan zooplankton sebagai sumber makanan ikan cenderung meningkat dengan makin luas dan makin bertambahnya usia tanaman mangrove (Marsono et al., 1995; Anwar dan Sumarna, 1987). Bahkan hasil Gunawan et al. (2007) menunjukkan adanya kandungan logam berat berbahaya, Merkuri (Hg) pada tanah di tambak terbuka adalah sebanyak 16 kali dibandingkan pada tanah hutan mangrove dan sebanyak 14 kali dibandingkan dengan tambak yang bermangrove. Di samping itu, kandungan Hg dalam ikan/udang pada tambak tanpa mangrove cenderung lebih tinggi dari pada tambak yang bermangrove (Gunawan dan Anwar, 2008).
Ekosistem pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan nir-hayati (fisik), yang berada di wilayah pertemuan antara laut dan daratan, yang masih terpengaruh oleh sifat-sifat laut diantaranya pasang surut, intrusi air laut dan angin laut, serta proses sedimentasi. Secara umum terdapat 3 tipe ekosistem pesisir yaitu; ekosistem terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks, terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, yang terpengaruh oleh pasang surut air laut, berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi dan abrasi, sebagai benteng dari gelombang dan angin laut. Tanaman mangrove juga berperan sebagai buffer dalam menstabilkan tanah dengan menjadi perangkat alami dalam menangkap endapan material dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai yang kemudian terbawa ke laut oleh arus (Irwanto, 2006).
Kecamatan Batu Putih merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Berau. Total Luas wilayah Kecamatan Batu Putih adalah 165.142 Ha (BPS Kabupaten Berau, 2016), yang terbagi menjadi 7 wilayah kampung, salah satunya adalah Kampung Tembudan. Menurut sensus penduduk tahun 2015 yang dilakukan oleh BPS Kabupaten Berau, jumlah penduduk Kecamatan Batu Putih adalah sebanyak 8.171 jiwa. Sebagai kecamatan yang berada di kawasan pesisir, Kecamatan Batu Putih juga mempunyai kawasan hutan mangrove. Luas kawasan hutan mangrove di Kecamatan Batu Putih adalah 7.742 Ha (TNC, 2013). Hutan mangrove Kecamatan Batu Putih merupakan daerah penyangga bagi Kawasan Konservasi Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan Dan Perairan di Sekitarnya, yang merupakan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Berau, yang telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui SK No. 87/KEPMEN-KP/2016.
Menurut BLH Kab. Berau (2013) jenis-jenis tumbuhan mangrove di Kecamatan Batu Putih meliputi Rhizopora stylosa, Sonneratia alba, Excoecaria agallocha, Nypa fruticans, Bruguiera spp, Ceriops tagal. Menurut analisa citra satelit Landsat 8 tahun 2013 yang dilakukan oleh TNC, luasan hutan mangrove di Kecamatan Batu Putih mengalami peningkatan seluas 162 Ha. Sedangkan menurut BLH Kab. Berau (2013) kondisi kerapatan tumbuhan mangrove berdasarkan analisa citra satelite Landsat 8 tahung 2013 di kawasan hutan mangrove Kecamatan Batu Putih diketahui bahwa kerapatan mangrove yang termasuk dalam klasifikasi jarang seluas 2.888,73 ha, yang tersebar diseluruh areal hutan mangrove di Kecamatan Batu Putih. Sedangkan klasifikasi sangat rapat hanya seluas 624,64 ha. Ancaman terbesar dari kawasan mangrove di Kecamatan Batu Putih adalah adanya alih fungsi lahan atau deforestasi. Mengingat status kawasan hutan mangrove Kecamatan Batu Putih menurut SK Menhut No. 718 tahun 2014 merupakan Area Pemanfaatan Lain (APL), kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya alih fungsi lahan.
Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove sebenarnya sudah dimulai sejak tahun sembilan-puluhan. Data penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan sejak tahun 1995 hingga 2003 baru terealisasi seluas 7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004) dan dari 2003 hingga 2007 telah mencapai 70.185 ha (Departemen Kehutanan, 2008), namun tingkat keberhasilannya sangat rendah. Di samping itu, masyarakat juga tidak sepenuhnya terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove, dan bahkan dilaporkan adanya kecenderungan gangguan terhadap tanaman mengingat perbedaan kepentingan. Beberapa hasil penelitian pendukung rehabilitasi mangrove dalam teknik rehabilitasi hutan mangrove berupa teknik pesemaian, teknik penanaman dan kajian silvofishery telah dikemukakan dalam synthesis hasil penelitian teknologi dan kelembagaan rehabilitasi hutan mangrove (Anwar, 2007).
Akhir-akhir ini ekosistem mangrove secara terus menerus mendapat tekanan akibat berbagai aktifitas manusia. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi membutuhkan berbagai sumberdaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, namun dalam pemanfaatannya sering kali kurang memperhatikan kelestarian sumberdaya tersebut. Tanpa pelestarian yang baik, benar dan bijaksana dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan mengalami kepunahan. Cepatnya penurunan luas areal mangrove disebabkan oleh kurang tepatnya nilai yang diberikan terhadap ekosistem areal mangrove. Adanya anggapan yang salah bahwa ekosistem areal mangrove merupakan areal yang tidak bernilai, bahkan dianggap sebagai waste land, hal ini merupakan salah satu faktor yang mendorong konversi ekosistem mangrove menjadi peruntukan lain yang dianggap lebih ekonomis. Hal tersebut dapat juga terjadi pada hutan mangrove di Kampung Tembudan. Lokasinya yang berdekatan dengan lingkungan pemukiman dan aktivitas budidaya perikanan memungkinkan terjadinya pemanfaatan sumberdaya baik di dalam maupun di luar areal mangrove. Untuk itu, Yayasan Penyu Berau melaksanakan Kajian Potensi Mangrove Kampung Tembudan sebagai langkah awal dalam penelitian mengenai sumberdaya mangrove yang ada dengan tujuan untuk memberikan masukan pada upaya pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hutan mangrove di Kampung Tembudan.
Keberadaan ekosistem mangrove di Indonesia saat ini benar-benar telah pada posisi yang sangat menghawatirkan, mengingat untuk pemenuhan keragaman kebutuhan penduduk yang jumlahnya makin bertambah pesat ini telah pula merebak ke wilayah mangrove. Kehidupan modern dan kemudahan aksesibilitas hasil produksi ekosistem mangrove ke pasaran serta pemanfaatan yang berlebihan tanpa memperhatikan kaedah kelestarian lingkungan telah mengakibatkan penurunan kuantitas maupun kualitasnya. Padahal ekosistem mangrove merupakan mintakat peralihan antara daratan dan lautan yang mempunyai perbedaan sifat lingkungan tajam, yang kelestariannya sangat rentan terhadap perubahahan lingkungan (Tomlinson, 1986).
BATIK MANGROVE
Motif batik mangrove sebagai tanaman pesisir belum diekpos dengan optimal. Sementara itu lingkungan pesisir dengan flora dan faunanya mempunyai potensi yang luar biasa sebagai motif batik. Disamping sebagai motif, tumbuhan mangrove juga dapat digunakan sebagai pewarna batik alami yang saat ini sedang menjadi tren di masyarakat. Pemanfaatan mangrove sebagai pewarna alami ini disamping memberikan nuansa warna alami dan motif yang indah, juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Metode pelaksanaan kegiatan dilakukan berbasis kelompok, secara komprehensif dilakukan pendampingan pada seluruh aspek mulai dari menyediakan sarana dan prasarana, serta meningkatkan berbagai keterampilan SDM melalui pelatihan.
Pelatihan terdiri dari penyampaian materi mengenai batik, macam-macam batik, dan tahapan dalam proses membatik. Dalam sesi praktik masyarakat diajarkan bagaimana memilihi bahan (limbah buah mangrove), cara pembuatan warna, cara membatik (cap dan tulis) yang meliputi teknik penggunaan canting.
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat dikembangkan untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan produk multimanfaat pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem. HHBK memiliki potensi dan peran penting dalam pembentukan aktivitas ekonomi yang bersifat padat karya yang dapat menciptakan industry rakyat dan menyerap tenaga kerja. Melalui kegiatan workshop batik mangrove diharapkan dapat meningkatkan kapabilitas dan menguatkan pengorganisasian (unit manajemen) dalam pengelolaan kawasan hutan mangrove.
Kegiatan dilaksanakan selama 6 (enam) hari bertempat di Balai Adat Kampung Tembudan, Diikuti oleh anggota kelompok, masyarakat, Ibu-ibu PKK, dan perwakilan Pemerintah Kampung Tembudan. Sebanyak lebih dari 25 peserta terlihat antusias dalam mengikuti kegiatan ini, selama kegiatan peserta dilatih mulai dari pengenalan batik, alat dan bahan, pembuatan pewarna, pembuatan motif dan pola, keterampilan menggunakan canting dan cap, pewarnaan, hingga pelorotan yang merupakan tahapan terakhir dalam proses membatik.
Buah (propagule) dan kulit batang kering (limbah) pohon mangrove jenis Rhizopora atau bakau digunakan sebagai pewarna utama dalam pembuatan batik, pemanfaatan buah dan kulit pohon mangrove merupakan salah satu bentuk pengolahan hasil hutan bukan kayu (HHBK) sebagai upaya menjaga kelestarian hutan mangrove.
Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi, sosial, dan ekonomi. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di Indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya. Berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memper-hatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir. Dengan demikian, pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan ekosistem hutan mangrove merupakan langkah strategis dan tepat. Selain itu, dengan modal pengambangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya ke-bijakan tersebut sulit dicapai.
ICCTF : Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove Secara Terpadu Sebagai Wujud Mitigasi Perubahan Iklim Untuk Mendukung Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Berau